Translate

Wednesday, May 10, 2017

K H I L A F A H




Khilafah, secara etimologis, adalah kedudukan pengganti yang menggantikan orang sebelumnya. Menurut terminologi syar'i, khilafah diartikan sebagai kepimpinan umum, yang menjadi hak seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum syariat Islam (hukum Allah) dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.
Batasan “kepimpinan umum” mempunyai konotasi, bahwa khilafah Islam bertugas mengurusi seluruh urusan, yang meliputi pelaksanaan semua hukum syara’ terhadap rakyat, tanpa terkecuali meliputi muslim dan non-muslim. Mulai dari masalah akidah, ibadah, ekonomi, sosial, pendidikan, politik dalam dan luar negeri, semuanya diurus oleh khilafah Islam.
Jika Anda membuka kitab Lisanul Arab karya Imam Ibnu Mandzur, maka Anda semua akan mendapatkan definisi seperti ini. Bentuk dan sistem pemerintahan Islam adalah sebagai berikut: 
 a.Negara Islam tidak berbentuk federasi ataupun persemakmuran (commonwealth), tetapi berbentuk kesatuan (union).
 b.Sistem pemerintahan Islam tidak berbentuk kerajaan (monarki), baik absolut, seperti kerajaan Saudi Arabia, maupun perlementer, seperti kerajaan Malaysia.  Juga tidak berbentuk republik, baik presidensial, seperti Indonesia, maupun parlementer, seperti Rusia. Tetapi sistem pemerintahan Islam adalah sistem khilafah, dimana khalifah tidak seperti presiden, juga tidak seperti perdana menteri, atau raja.
 c.Sistem pemerintahan Islam juga tidak berbentuk demokrasi, teokrasi, ataupun autokrasi. Tetapi, sistem pemerintahan Islam adalah sistem khilafah yang tidak sama dengan model pemerintahan yang ada di dunia saat ini.
 d.Sistem  pemerintahan Islam berbentuk sentralisasi, sedangkan administrasi atau birokrasinya menganut sistem desentralisasi.
 e.Bentuk negara Islam yang sesungguhnya juga bukanlah bentuk negara bangsa (nation-state) seperti yang digagas oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewiryo dengan Negara Islam Indonesianya. Tetapi bentuk negara Islam adalah bentuk negara global internasional, sebagai bentuk persatuan umat Islam sedunia.

Sejarah kekhalifahan sering dibahas dengan penuh kebanggaan. Namun tidak sedikit pula suara-suara yang lebih kritis membedah persoalannya secara lebih detil dan teliti. Maududi, misalnya, melakukan telaah kritis terhadap sejarah, dan menyimpulkan bahwa hampir sepanjang sejarahnya khilafah dari Dinasti Umayyah hingga ke Turki Usmani tak lebih dari sekedar kerajaan-kerajaan yang berbaju Islam saja. Mereka mencatat banyak kemajuan dalam hal luasnya daerah kekuasaan, juga kemajuan ekonomi serta ilmu pengetahuan, namun perilaku elit kerajaan sangat jauh dari nilai-nilai Islam. 

Lalu bagaimana dengan masa khulafaur rasyidin? Masa ini sering dibahas dengan penuh pujian. Namun bagaimana pun juga situasinya tetap bisa dilihat secara kritis. 


Begitu nabi wafat, orang-orang Anshar langsung berunding untuk mencari pemimpin dari kalangan mereka. Ini didengar oleh Umar dan Abu Bakar. Mereka berdua kemudian mendatangi pertemuan itu, kemudian berhasil meyakinkan hadirin bahwa Abu Bakar lebih pantas memimpin. Sementara itu Ali yang masih sibuk mengurus jenazah sahabat, mertua, sekaligus sepupunya, tidak ikut dalam pertemuan itu. Ketika tahu soal itu Ali marah. Ia sendiri merasa paling berhak menggantikan posisi nabi sebagai pemimpin. Karena itu pada mulanya ia enggan berbaiat. Menurut catatan sejarah Ali baru berbaiat setelah Fatimah wafat, 6 bulan kemudian.
Coba kita kaji kembali situasinya. Di mana sistemnya? Kalau ada sistem tentu tak seperti itu bentuknya. Ali dilibatkan, sehingga ia tak perlu marah. Akibatnya tak akan ada perpecahan Sunni-Syiah yang abadi hingga kini. Tidak ada panduan tentang siapa atau bagaimana kriteria orang yang akan jadi pemimpin, bagaimana proses pemilihan. Yang terjadi adalah balapan politik. Untungnya Ali kemudian berlapang dada menerima, kemudian berbaiat kepada Abu Bakar.
Setelah itu proses peralihan kepemimpinan beragam caranya, tergantung siapa yang sedang berkuasa. Abu Bakar menunjuk Umar, Umar membentuk panitia. Ali diangkat dalam keadaan genting oleh penduduk Madinah. Satu hal yang dilakukan Ali dalam pemerintahannya adalah mengganti orang-orang yang diangkat oleh Usman. Pada akhirnya Ali kemudian harus berhadapan dengan Muawiyah, orang dekat Usman. Tak tanggung-tanggung, mereka bertempur di medan perang. Umat yang katanya bersaudara itu kini saling bunuh.
Dengan terpilihnya Sayyidina Umar bin Khatab, Sayyidina Utsman bin Affan, Sayyidina Ali bin Abi Thalib, mereka diangkat menjadi khalifah melalui pilihan yang demokratis. Apakah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali yang menyetujui adanya pilihan demokratis ini juga kafir? Naudzu billah min dzalik. Jangan-jangan kelompok pedukung “Khilafah” mereka itu mendapat warisan dari kaum Khawarij yang mengkafirkan sahabat Utsman, Ali, Abu Musa Al Asy’-ari yang akhirnya mereka membunuh sahabat Ali R.a. Mereka adalah kaum yang mudah mengkafirkan orang yang tidak sefaham.
Sungguh konyol ada yang berusaha menghidupkan Kembali “sistem” pemerintahan yang telah terbukti gagal itu. Mereka ngotot bahwa Khilafah adalah satu-satunya sistem atau bentuk pemerintahan yang Islami. Selainnya itu Kufur.
Mereka berpandangan akibat sistem sekuler negara bangsa, umat Islam terpecah belah dan terpisah karena batas-batas negara. Intinya mereka bercita-cita menyatukan semua umat Islam di seluruh dunia dalam satu naungan yang namanya Khilafah dan dipimpin oleh seorang yang disebut Khalifah, konsekuensinya adalah menghapus negara bangsa seperti Indonesia, Suriah, Irak, Libya, Malaysia, Mesir, dan seterusnya. Ini adalah khayalan hampa dan angan-angan kosong mereka, nyatanya mereka banyak membunuh dan melakukan kejahatan yang amat sadis dan kekejian mereka tak sesuai dengan Agama apapun apalagi menurut Islam. Jadi agama apa yang dianut oleh kelompok “khilafah” ini? 
Ternyata yang menjalankan dan ingin membentuk negara “khilafah” ini adalah IS/ISIS, kelompok Radikal, serta kelompok pengikut aliran sesat Wahabi yang notabene mereka adalah penganut agama yang keras dan sangat kaku sekali, dan mereka berpandangan bahwa pemerintahan Turki Utsmani yang runtuh pada tahun 1924 adalah sebuah Kekhalifahan, padahal jelas-jelas itu adalah Kerajaan. Kalaupun Turki Utsmani itu sebuah Khilafah, justru itu adalah bukti sejarah betapa Khilafah itu rapuh dan punah.
Bentuk pemerintahan Islam juga sama sekali tidak dijelaskan dalam Alquran dan Hadis-hadis nabi Muhammad Saw, apakah negara Islam itu berbentuk Monarki sebagaimana umumnya negara Arab saat ini atau bentuk republik sebagaimana mayoritas negara di dunia saat ini yang mengadopsi sistim demokrasi, semuanya tergantung kepada umatnya.
Nabipun tidak menetapkan suatu sistim dalam pemerintahannya dan tidak mengklaim bahwa apa yang dijalankan adalah sistim khilafah. Islam hanya mendorong umatnya agar tetap menjunjung tinggi esensi-esensi islam dan menjadikan islam sebagai pedoman hidup untuk kebahagian dunia dan akhirat tanpa menentukan bentuk pemerintahan yang harus dijalankan. Yang terpenting bagi Islam adalah menjalankan esensi-esensi islam yang meliputi aqidah, syariah  dan ihsan atau moral. Adapun bentuk pemerintahan seperti, khilafah sama sekali tidak disinggung dalam Islam baik di dalam Alquran maupun hadis Nabi Muhammad Saw.
Jika mengamati lebih dalam sistim yang dijalankann Nabi Muhammad Saw selama di Madinah adalah cenderung mirip dengan sistim pemerinhan konfederasi, dimana kepala-kepala suku tetap berkuasa dalam komunitas sukunya dan menentukan sistim adminsitrasi yang dikehendaki baik dalam memilih maupun dalam menentukan kebijakan. Nabi tidak ikut campur terhadap urusan internal setiap suku dan sepenuhnya menyerahkan kepada kepala-kepala sukunya untuk mengatur urusannya.
Yang menjadi perhatian Nabi adalah bagaimana setiap kepala suku mewujudkan masyarakat yang Islami yang menghormati hak-hak asasi manusia dan perlindungan terhadap kaum dhuafa serta perhatian kaum pakir misikin dan kaum wanita. Posisi Nabi Muhammad Saw di kalangan kepala suku bukanlah  khalifah atau Amir atau raja akan tetapi ia adalah guru (muallim) kepada semua kepala-kepala suku termasuk suku yang belum menganut Islam atau agama lain di Madinah.
Kepala suku dan tokoh agama tetap berkuasa dalam lingkungannya dan mengatur masing-masing urusan dalam sukunya tanpa keterlibatan Rasulullah. Pelaksanaan hukum dalam satu komunitas suku tetap mengacu kepada kebiasaan setiap suku dalam menyelesaikan persoalan yang muncul dalam setiap komunitasnya. Nabi hanya mengarahkan dan mengajarkan tentang penyelesaian setiap kasus yang didasarkan pada ajaran-ajaran Islam. Sistim ini seperti yang dikatakan di atas adalah sama dengan sistim pemerintahan konfederasi.
Semestinya para pendukung berdirinya negara Khilafah tidak mesti berjuang apalagi menjadi teroris untuk mencapai tujuannya karena bentuk pemerintahan yang diinginkan sebenarnya sudah di depan mata mereka tinggal mengisi dan memanfaatkan peluang tersebut. Undang-undang negara dimanapun di dunia ini termasuk di Indonesia yang sudah mengadopsi sistim demokrasi dimana setiap warga negara memiliki hak memilih dan dipilih merupakan sebuah kesempatan emas untuk maju menjadi pemimpin.
Jika menang dalam pemilihan maka ini sebuah kemajuan kongkrit yang dicapai oleh kelompok pendukung negara Khilafah artinya melalui kepemimpinanya ia dapat mengimpelementasikan esensi-esensi Islam tanpa harus merubah Konstitusi dan Undang-Undang Dasar Negara yang sudah menjadi komitmen bersama karena Islam sendiri tidak mempersoalkan bentuk dan falsafah negara yang penting substansinya tidak berbeda dengan esensi-esensi Islam.

Note : abaikan gambar

Sumber : diambil dari berbagai sumber

2 comments: